Senin, 28 Juni 2010

A T M

Sebagian besar masyarakat kita atau bahkan adalah generasi ATM: Suka mengAmati, Suka Men[T]iru, Suka meModifikasi berkaitan dengan barang atau produk dari orang lain. Tidak ada salahnya, karena hal itu wajar dan sepanjang tidak berusaha mematikan hak orang lain. Sebuah becak sekarang pakai motor sebagai penggerak bertujuan memudahkan operasional dari pengendara dan lebih cepat sampai di tujuan, tapi pernahkah berpikir bagaimana dengan tukang becak yang tetap dengan mengandalkan kekuatan kaki untuk dapat mengantarkan penumpangnya??? Banyak minimarket di lingkungan kita, apa keuntungannya? pembeli dapat memperoleh barang yang diinginkannya lebih dekat, lebih bersih dan lebih lama jam bukanya di bandingkan dengan pasar tradisional, yang tentunya keadaannya tentu " tidak lebih baik ". Tapi apa itu terlihat manusiawi? sisi bisnis tak selalu " begitu menyenangkan " bagi pelaku yang tidak dapat mengikuti " selera pasar ". Apa yang mereka peroleh adalah " sesuatu yang biasa dilakukan " bukan " sesuatu yang harus dilakukan ", para pelaku bisnis tradisional jelas tidak dapat melakukannya sendiri atau berkelompok karena akan terbentur kapitalis ekonomi bermodal besar. Pemerintah harus mengeluarkan regulasi ekonomi yang tetap berpihak pada rakyat kecil, tidak melulu memburu keuntungan besar sesaat tapi meruntuhkan sendi2 perekonomian rakyat jelata! Maka jangan heran bilamana terjadi suatu saat nanti kita akan menjumpai sayur2an, buah2an,ikan, daging di dalam kaleng....Karena pemerintah tidak pernah mengAmati: Perubahan sosial ekonomi tingkat bawah, tidak pernah men[T]iru: Hal2 baik yang telah dilakukan para pelaku ekonomi rakyat yang selalu bekerja dengan sangat keras dan mereka bukanlah sang pemikir yang hebat, tidak pernah meModifikasi: sarana dan prasarana agar rakyat juga tetap bisa eksis tanpa kita ketinggalan dari sisi teknologi dan dianggap kuno. Akhirnya jika melakukan teori A T M, jangan melupakan apakah itu sesuai dengan hati nurani kita yang selalu mengagungkan nilai bisnis setinggi2nya tapi gak peduli lingkungan, sebaiknya jangan mendirikan usaha loundry sementara tetangga kita adalah seorang buruh cuci...!

Kamis, 24 Juni 2010

P E N G A R U H P A N A S M A T A H A R I B A G I K E S E H A T A N

Panas dengan temperatur 33 sampai 34 derajat celsius karena posisi matahari yang dekat dengan garis khatulistiwa. Hati-hati suhu yang begitu panas bisa mengganggu kesehatan.
Beberapa penelitian menunjukkan dengan meningkatnya temperatur, maka diperkirakan akan meningkatkan terjadinya berbagai macam penyakit infeksi, kurangnya suplai makanan dan air bersih, meningkatnya jumlah anak yang kekurangan gizi serta bisa menyebabkan orang meninggal dunia.
“Tapi meskipun tidak ada perubahan iklim yang drastis, masalah kebersihan, penggunaan energi secara efisien serta penyelamatan hutan tetap harus diperhatikan,” ujar Professor Michael Marmot dari University College London, seperti dikutip dari BBC , Kamis (17/9/2009).
Selain itu semakin dekatnya matahari dengan khatulistiwa, maka paparan sinar ultraviolet juga semakin tinggi. Karena radiasi sinar ultraviolet hanya butuh jarak yang lebih pendek dari atmosfer untuk bisa mencapai bumi. Radiasi sinar ultraviolet yang semakin kuat juga disebabkan oleh menipisnya lapisan ozon secara alami, sehingga hanya sedikit sinar radiasi yang mampu diserap oleh ozon dan lebih banyak dipancarkan ke bumi.
Tubuh manusia memang membutuhkan sinar matahari sebagai sumber vitamin D yang berguna untuk pertumbuhan tulang, tapi jika terlalu berlebihan akan berbahaya bagi kulit. Sebaiknya menghindari terkena sinar matahari mulai dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore. Sinar matahari yang berguna hanya pada saat pagi hari saja.
Lord Michael Jay dari health charity Merlin dan Professor Michael Marmot dari University College London mengatakan, mungkin salah satu keuntungan dari perubahan suhu ini adalah orang sedikit yang keluar rumah sehingga mengurangi polusi. Menurunkan jumlah orang yang mengonsumsi daging sehingga mengurangi penyakit kanker, obesitas, diabetes dan penyakit jantung.
Tapi masyarakat tetap harus menjaga kondisi tubuhnya agar tetap fit, sehinga tidak mudah terkena berbagai penyakit infeksi terutama yang berhubungan dengan saluran pernapasan, penyakit kulit ataupun penyakit yang berhubungan dengan pencernaan akibat mengonsumsi air yang tidak bersih. ( google 2010 )

F E R O Z A D I J U A L...soldout!

FEROZA th 1994 hitam
harga penawaran 49juta


Minggu, 20 Juni 2010

ikon kota SEMARANG: T U G U M U D A

Tugu ini dibangun sebagai monumen untuk mengenang heroisme pejuang Semarang melawan penjajah Jepang yang dikenal sebagai pertempuran selama lima hari di kota Semarang dari tanggal 14-19 Oktober 1945. Peletakan batu pertama dilakukan Gubernur Jawa Tengah Budiyono dan diresmikan oleh Presiden RI pertama Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Berbentuk lilin dengan makna semangat yang tak kunjung padam bagi para pejuang yang mempertahankan kemerdekaan. Pada kaki monumen terdapat relief yang menggambarkan kesengsaraan rakyat Indonesia di masa jaman penjajahan Jepang, seperti relief Hongeroedem, relief pertempuran, relief penyerangan, relief korban dan relief kenangan. Saat ini tugumuda terlihat gagah menjulang, taman asri dengan tanaman yang rindang. Dimalam hari akan terlihat indah dengan sinar aneka warna yang bertaburan. Anda tertarik ……silahkan datang sekaligus dapat belanja oleh-oleh khas Semarang berupa Bandeng Presto, Wingko babat, Moci dan lain-lain yang berlokasi hanya empat ratus meter dari Tugumuda tepatnya di Jl. Pandanaran. [ dari berbagai sumber ]

Sabtu, 19 Juni 2010

I N D O N E S I A

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa). Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer. Nusantara Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920. Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke. Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians". Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: "Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago". Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiĆ«r (orang Indonesia). Identitas Politik Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,: "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya." Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini. Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia. [ sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia dan http://www.facebook.com/note_redirect.php?note_id=402318724078&h=7529ae02d5de0e8fb2efa806f30cb033&url=http%3A%2F%2Fbit.ly%2FdtHkYj ]